Cari di Sini

Kamis, 29 Januari 2015

Membuka Mata Hati dan Mata Batin


Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis kerana takut kepada Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. (Ibnul Qoyyim Al Jauziah, Bada’i al-Fawa’id).
Ketahuilah, bahwa di dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging, yang bila ianya baik maka baik seseorang itu, dan apabila buruk, buruklah amalan seseorang itu, ketahuilah, ia adalah hati.
(Riwayat Muslim).

Hadis riwayat Aisyah ra. istri Nabi saw:
Rasulullah saw. bersabda: Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut yang menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada orang yang bersikap lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap keras dan kepada yang lainnya.

PADA suatu hari, musim haji abad ke-2 Hijriyah, Abu Bashir berada di Mesjid Al-Haram. Ia terpesona menyaksikan ribuan orang bergerak thawaf mengelilingi Ka’bah, seraya mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Abu Bashir membayangkan, betapa beruntungnya orang-orang itu.Mereka telah mendapat panggilan Tuhan, tentu mereka semua akan mendapat pahala dan ampunan-Nya. 


Imam Ja’far al-Shadiq, tokoh spiritual yang terkenal dan salah satu ulama besar dari keluarga Rasulullah SAW, berkata, “Inginkan kutunjukkan kepadamu siapa mereka?”, lalu Imam Ja’far menyuruh Abu Bashir menutup matanya. 

Kemudian Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika membuka lagi matanya, Abu Bashir terkejut. Di sekitar Ka’bah, ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. 


Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan dan teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Anda boleh jadi tidak begitu saja percaya dengan riwayat atau cerita diatas. Apa yang disaksikan Abu Bashir pertama kali adalah tubuh-tubuh manusia, dan yang dilihat untuk kedua kalinya adalah bentuk ruhani mereka.


Kita adalah makhluk yang hidup di dua alam sekaligus. Tubuh kita hidup di alam fisik, nyata dimana kita bisa melihat dan mencerapnya, kita raba dan rasakan, yang disebut para ulama sebagai alam nasut. Sedangkan ruh kita hidup di alam metafisik (alam malakut). 


Ruh tidak dapat dilihat oleh mata lahir, karena berada di alam malakut, dan ia adalah bagian dari batiniah kita. Namun, ada sebagian dari kita yang memiliki kemampuan dan melatih mata batin ini sehingga dapat menengok ke alam malakut, melihat ruh dirinya dan orang lain.

Sebagaimana tubuh, ruh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Ruh dapat betul-betul berwujud binatang – babi atau kera. Allah berfirman, “Katakanlah: Apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurka Allah; di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah thogut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 60)


Mata Hati dan Mata Bathin


Ketika menjelaskan tentang hati, Imam Al-Ghazali menjelaskan dua macam mata; mata lahir (bashar) dan mata bathin (bashirah). Dengan mata lahir kita bisa melihat wujud lahiriah kita, menyaksikan alam semesta ini. Bentuk lahiriah kita hanyalah penampakan dari bentuk lahir dan bukan bentuk kita sebenarnya, bukan penampilan dari bentuk batiniah kita. Dengan bashirah, kita akan mampu melihat diri kita, wujud kita yang sebenarnya.
 

Dengan menggunakan istilah Imam Al-Ghazali, bashar hanya dapat melihat khalq (wujud fisik), sedangkan bashirah mampu melihat khuluq (wujud ruhani). Kata khuluq adalah kata jamak dari kata akhlaq, wujud ruhaniah kita. Sedang, Al-Quran menyebut wujud ruhani kita sebagai hati (qalbu). 

Dan, sebagaimana wujud fisik yang bisa mendapat serangan penyakit, qalbu (ruhani manusia) juga bisa terjangkit penyakit, yakni penyakit ruhani atau penyakit hati (qalbu). “Fi qulubihim marodhun fazaadahumullahu marodhaa”, Di dalam qalbu mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakit itu (QS. 2:10).

Qalb, Fuad & Lub Pandangan tentang “hati”

Qalb mempunyai dua makna: qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, qalb dapat kita terjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi SAW bersabda, “Di dalam tubuh itu ada mudghah, ada suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah mudghah itu adalah qalb.”


Para mubaligh sering menerjemahkan qalb di sini sebagai “hati”, sehingga mereka berkata, “Kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih” Padahal sebenarnya yang dimaksud di sini adalah hati dalam bentuk jasmani, karena itulah Nabi SAW menyebutnya segumpal daging (mudghah). 


Sebagaimana jantung memegang peranan dalam kesehatan tubuh kita, hati (qalb dalam arti wujud ruhani) juga memegang peranan yang amat penting dalam kesehatan ruhani kita. “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya” (Kanzul Ummal:1205).

Dalam Mafatih al-Ghaib ketika membahas tentang struktur ruhani manusia, klasifikasi qalbu dibagi kedalam tiga derajat ; qalb, fuad & lub. Pertama, Qalb, sesuai dengan artinya bolak-balik, tempat bergumulan antara yang haq dan bathil.


Ada juga qalb dalam arti kekuatan ruhaniah yang mampu melakukan peng-idra-an, memahami, mempersepsi dan mencerapi. 


Kedua, Fuad, adalah hati yang dapat memaksimalkan fungsi rasional (‘aqal), sebagaimana ucapan Nabi SAW, “Akal itu ada dua, satu di kepala, dan satu di hati”. 

Ketiga, Lub adalah qalb yang hanya bisa dimasuki oleh cahaya Tuhan, Lub-lah yang menjadi “wadah” Allah SWT di bumi. 

Lub yang disinari oleh cahaya Tuhan inilah yang mampu menjadikan seorang insan bisa mengembangkan nilai-nilai spiritualnya (aspek ruhaniah) sampai ketingkat maqam malaikat. Imam Ja’far ash-Shadiq juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah punya wadah di bumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.”





Sumber:
Kitabul Jami’ Hadits Ke-5 – Ustadz Alfi Syahar
Kisah Para Nabi – Kisah Dua Putra Nabi Adam –

Tidak ada komentar:

Posting Komentar